Puisi: “Status 1: Apa yang Anda Pikirkan?”

Ahmad Zaidi


Status
1 : Apa yang Anda Pikirkan?

 

Dalam
keriuhan ini kita kerap terjungkal ke dalam kubang validasi dan tali yang
menjulur di tubir pengakuan sebagai uluran tangan itu terputus oleh diri
sendiri. Kita mewakafkan diri sebagai murid yang berkhidmat pada reputasi.

 

Kita
menikmati bagaimana orang bertepuk sorai dalam pesta perayaan. Gelegar irama
dansa yang berdendang dari petang hingga fajar menjelang menjadi kekal
dentuman—terpatri sebagai keniscayaan.

 

Tiada yang
bisa memberi sulur sebagai genggaman yang membantu kita ke puncak atau lentera
yang menjelma rambu dalam gelap sebab semua orang berada dalam gulita palung
yang sama.

 

Mamuju,
2020

 

 

Status
2 : Apa yang Sedang Terjadi?

 

Di hadapan
280 karakter kita duduk bersila mengurung kelambanan. Di luar beranda, tenggat
terngiang seperti sirene yang kehilangan tombol daya. Segala sesuatu diringkas
dalam utas. Betapa kita hidup bergegas, meranggas, dan terpangkas.

 

Mamuju,
2020

 

 

Status
3: Ada Gambar Apa Hari Ini?

 

Ada yang
mengunggah. Ada yang mengunduh . Pesona hilir mudik dalam lintasan citra dengan
rupa yang rapuh. Ketergesaan gegas melaju di jalur yang padat menuju getas
keterasingan yang menanti di ujung lajur yang rusuh.

 

Perlombaan
dimulai. Hadiah terbaik bagi seorang yang mencari adalah kehilangan. Batas
antara apa dan siapa dipisah oleh bagaimana. Yang bertambat pada hasil tak
pernah mengarungi percobaan. Hidup rupanya adalah tafsiran.

 

Mamuju,
2020

 

 

Homo
Digitus

 

Manusia
mengelabui bayangan perihal siapa yang tampak di hadapan cermin. Apakah ia
getar tungkai yang berdiri sebagai gurat takdir ataukah gentar yang meringkuk
di ceruk getir. Manusia  topeng yang
merekayasa wajahnya untuk menampik konvensi moral yang membabtis diri sebagai guillotine.

 

Manusia
memerankan lakon utama dengan memainkan kata-kata cinta yang berguguran dari
langit, tetapi kata-kata yang berhamburan di bumi dipungut sebagai senjata.
Pistol yang tampil di awal adegan akan meletus sebagai penutup cerita. Manusia
selalu menjadi sutradara yang mahir menyusun peristiwa.

 

Manusia
terjebak pada peran dan tak bisa apa-apa. Manusia memakai jubah kutipan untuk
mendulang sanjungan, sementara pujian adalah batu sandungan. Manusia gamang dan
patuh pada standar keumuman yang timpang. Pertanyaan-pertanyaan menciut di
hadapan pantang. Manusia kehilangan diri sendiri dari riuh dunia penuh ledakan
ekspektasi. Pikiran terbuka ternyata gagal melawan kesakralan tradisi.

Tak ada
rahasia dalam algoritma. Privasi berjejer sejajar di pelelangan lini masa.
Percakapan kehilangan label harga. Manusia meminggirkan diri dan mematenkan autentintas
maya yang tak pernah benar-benar ada dan berpura-pura satu-satunya waras yang
tersisa.

 

Mamuju,
2020

 

 

Berhala-Berhala
Wacana

 

Ia telah
membaca gulungan titah; menasfir seluruh perkamen; meneroka lema-lema yang
menggema di sepanjang lembah-lembah peradaban. Ia artefak kehilangan yang
menemukan museum ingatan.

 

Ia mendaras
pengetahuan atas seluruh yang tak tertangkap sebagian mata manusia. Yang lebih
banyak membaca gelagat semesta sebagai gelanggang pertarungan hidup yang muskil
tandas. Ia mengkhotbahkan aksara sebagai suar cahaya dalam terang yang
terbatas.

 

Ia mengeja laku
tuhan sebatas bilangan tak terpermanai dalam hitungan ganjil yang memukul. Yang
berjalan di satu garis arsiran tak akan mengerti rumit lekuk pada
lika-liku.

 

Lalu ia
memakai wacana sebagai mahkota, menjadi raja dan bertahta dalam bahasa. Liyan
yang tuna kata menjadi jelata yang tak punya cukup waktu untuk berperkara pada
makna.

 

Mamuju,
2020

 

 

Tentang
Penulis:

 Syafri
Arifuddin Masser Lahir di Sirindu, Sulawesi Barat. Alumnus mahasiswa jurusan
Sastra Inggris di Fakultas Sastra Universitas Muslim Indonesia. Satu tahun
terakhir bekerja purna waktu sebagai penyiar radio dan paruh waktu sebagai
tutor. Sekarang lebih banyak di rumah untuk mengelola podcast: Semesta Puisi
dan youtube review buku: Syafri Arifuddin Masser. Puisi-puisinya diarsipkan di
instagram: puisisyafri. Aktif sebagai pegiat literasi di Mamuju, Sulawesi Barat.

 

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Jefribagusp Musik Situbondo Ulas

Nostalgia Masa Kecil

Apacapa Imam Sofyan

Andai Aku Menjadi Bupati Situbondo

Ana Khasanah Buku Ulas

Ulas Buku: Mengabdi Adalah Seni Menjelajahi Diri

Apacapa Syaif Zhibond

Terima Kasih, Pak Dadang! Jasamu Abadi

Buku Febrie G. Setiaputra Resensi Ulas

Resensi: Logika: Bukan Hanya untuk Orang Pintar

Apacapa Ardhi Ridwansyah

Bedah QLC Dalam Diri Seorang Pengangguran

Cerpen Sheila Primayanti

Cerpen: Kehilangan Sebelum Memiliki

Mored Moret Puisi Nur Akidahtul Jhannah

Puisi Mored: Jeritan Pantai Peleyan dan Puisi Lainnya

Andi Fajar Wangsa Puisi

Puisi : Sore yang tak ingin Kuakhiri dan Puisi Lainnya Karya Andi Fajar Wangsa

Apacapa

Situbondo Kota Sederhana: Menuju Kota Istimewa

Apacapa Nur Husna

Refleksi Hari Kesaktian Pancasila

Apacapa Fendy Sa’is Nayogi

Kemarau Tiba, Hati-Hati Kekeringan

Mohammad Cholis Puisi

Puisi: Celurit yang Tergantung

Puisi Saiful Arif Solichin

Puisi: Jalan Pulang

Irma Muzaiyaroh Puisi

Puisi – Sang Bayu

Apacapa Dwi Mustika

Mengangkat Adat Istiadat Nenek Moyang: Keunikan Jogo Tonggo di Temanggung

Apacapa Esai Yogi Dwi Pradana

Resepsi Sastra: Membandingkan Mundinglaya Di Kusumah dari Ajip Rosidi dan Abah Yoyok

Puisi Raihan Robby

Puisi: Di Luar Rencana

Puisi Thomas Elisa

Puisi-puisi Thomas Elisa

Imam Ar-Ruqi Puisi

Puisi : Jendela dan Selaksa Bayang Karya Imam Ar-Ruqi