Puisi: Negeri Atalan


Gua Kehidupan
Bernapas di udara yang
penuh bangkai
Dihiasi fana
kebahagiaan
Di tempat itu
Banyak badut
keji
Mawar tumbuh
di
celah
aliran air hujan
Yang terserap
tanah
Namun,
hidupnya seperti kurcaci
tak elok
berada di negeri ini
dunia ini
tempat kelucuan
badut badut
semrawut
dan kita
dinahkodai olehnya
termometer
kebenaran sirna didekapnya
Negeri Atalan
Seolah surga
yang sedang berkelana
Tenggorokan
mengering kehausan peradaban
Dilahapnya
sumber alam
tapi justru kau terlahap olehnya
Wujudmu semu
Gelak badut
pandai
Atau kepalaku
terlalu beriman padamu
Bahwa kau itu
ada
Memancing
kehadiranmu
Membuatku
jemu
Tak kunjung
bertamu
Pada hambamu
ini
Mengundang
tak datang
Tak diundang
meradang
Berpestalah,
ada secangkir air kehidupan
Yang kau
dambakan
Dunia aquarium
Degil sekali
dunia ini
Garis tak
boleh dilewati
Jika tak
ingin masuk peti
Seperti
barbie
Dibaatasi
mimpi dengan keelokan palsu
Dihiasi batu
palsu
Dikurung
berbagai makhluk suci
Seolah
keinginan sendiri
Hidup di
tempat sesak
Dihimpit
bangunan tinggi
Ditanami
pohon berakar panjang itu
Seolah sari
kehidupan
Disaring air
yang bau itu
Dan masuk
kembali, menjengkelkan
Air terjun buatan
Justru
menghancurkan peradaban
Waktu
Mentari
hijrah ke ufuk barat
Dilempar oleh
cahay
a redup tak
berkemajuan
Pelupuknya
tak pernah lelah
Lebih kuat
dari ledakan bigbang
Mendampingi
peradaban
Yang tak
kunjung usai
Dikelilingi
tikus berkepala serigala
Serta
menyaksikan air suci kemenangan
Menunggu hari
itu tiba
Aku pun mati
Tak ada lagi
yang dilakukan di negeri ini
Semuanya
menjadi puing
puing
kehidupan
Dunia mimpi
Pulas dihamparan
bayangan
Dimanja oleh
pikiran
Mengutuk bola
Sebab
mengenai wajahnya
Muram tak
berseri
Sebab tak ada
arti
Ditusuknya
bola
Agar tak
mengenai lagi
Biodaata Penulis
Sidik Karim,
lahri pada tanggal 11 juli 2000 di Purwakarta. Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam
di Uin Bandung. Aktif di komunitas Studio Sastra Cibiru
.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Review Film Syaif Zhibond

Ketika Obat Jadi Alat Persekongkolan Menkes, Dokter, dan Pengusaha

Apacapa Madura Totor

Bâbitthèl

hafid yusik

Surat Terbuka untuk Kiai Muhyiddin

Buku Muhammad Rizal Resensi Ulas

Resensi: Tentang Jalan Lurus dan Sungai yang Mengalir

Apacapa Haryo Pamungkas

Terapi di Warung Kopi

Arum Reda Prahesti Cerpen

Cerpen : Nyata dan Maya

Mahadir Mohammed Puisi

Puisi: Dimensi Mimpi

Cerpen Irwant

Rindi Rindu

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Posisi Komunitas Muda Kreatif Situbondo dalam Revolusi Industri 4.0

Achmad Nur Apacapa

Pesantren di Tengah Cengkeraman Kapitalisme Global

Cerpen Muhammad Lutfi

Cerpen : Agama dan Prasangka Karya Muhammad Lutfi

Penerbit

Buku: Bahagia Butuh Bersama: Kumpulan Puisi

Puisi Safari Maulidi

Puisi-puisi Safari Maulidi: Pasar Malam yang Hilang

Agus Hiplunudin Apacapa Esai

Merajut Kembali Keindonesiaan Kita Melalui Gotong Royong di Era Millennials

Apacapa Nur Husna

Bullying Bukan Budaya Kita

Apacapa Esai Madura Syaif Zhibond

Esai Madhura: Nyabe’ Angin

Apacapa Harjakasi Wahyu Aves

HARJAKASI: Hari Jadi Kabupaten Situbondo

Cerpen Gusti Trisno

Cerpen – Joe dan Dua Orang Gila

Apresiasi

Sajak Sebatang Lisong – WS. Rendra | Cak Bob

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Igauan yang Mungkin Puisi atau Semacam Puisi