Puisi : Revallina Karya Arian Pangestu


Puisi-puisi Arian Pangestu

Revallina
Adakah kata yang paling bening
yang bila kukecup mampu menyegarkan batin
jikalau selain kata cinta, maka itu ialah nama manismu
sebagai cermin yang memantulkan wujud dirimu
sebagai musim semi dalam kemarau hari-hariku
betapa aku sungguh merindukan rintik-rintik hujanmu
dan dalam lipatan jarak wajahmu berkelindan dalam
angan;
kenapa aku begitu gemar menyaksikan wajahmu
berlalu-lalang
dalam pikiran.
Jakarta, 2019
Sebelum Pagi Menjemputku
:Untuk Revallina
1.
Kupastikan mataku tetap menyala setelah diguyur kopi.
Karena malam mengintai kantukku untuk menculikmu
dari pikiranku sebelum pagi menjemputku.
2.
Karena hanya dengan berkhayal kita adalah sepasang
pengantin yang menikahi kesunyian.
3.
Yang bila dalam keramaian hati kita selalu alpa
untuk menikmati secawan tawa yang tumpah ruah
oleh mereka yang sebenarnya hanya berpura-pura
bahagia.
4.
Revallina malam semakin tua dan aku semakin tak berdaya
mungkinkah kini kau sudah menjadi mimpi di rembulan
bagi bantal yang sedari tadi sudah kutinggalkan.
Jakarta, 2019
Jakarta-Singapura
: untuk Revallina
Di Singapura atau di manapun bauh tubuhmu
sebagai kemarau aku merindu musim semimu
sebab malam doaku dibasuh tawar air mata
pagi bagai pijar mentari kau menjelma cakrawala
sore seperti senja yang hampir lepas landas
di Jakarta aku cemas dan lemas kau begitu lekas
menghapus aku dari kota yang mempertemukan kita
Re, ini hari bernama kamis: ia amat manis sebab gerimis
ia meledekku sebagai lelaki yang berjalan diiringi tangis
sendiri menyeberangi anak hujan di jalanan  ibukota
ah, dikau yang di Singapura atau entah di irisan bumi mana
rawatlah aku di keningmu, di dalam sujud sunyimu.
Jakarta, 2019
Melihatmu Paling Pagi
: untuk Revallina
Satu yang kuharap ialah membimbingmu kelak
dan satu yang kutakuti ialah takdir berkata tidak
andai segala perihal yang kuminta
ialah doa yang segera menjadi nyata
sebab dalam munajatku yang panjang
nama manismu tak henti kurapal berulang-ulang
Re, aku ingin menjadi lelaki yang melihatmu
paling pagi dan lebih pagi dari nyala mata lampu
di atas ranjang tidurmu sebelum mempergokiku
sedang menaruh bibir di keningmu: melingkar
di tubuhmu.
Jakarta, 2019
Rindu
: Revallina
“Maka aku mendakwamu,
bahwa sakitmu hanya bisa diobati
oleh sebuah ciuman dan tangan
yang saling bergenggaman,”
kata waktu yang tergesa-gesa itu
Jakarta, 2019
Biodata Penulis
Arian Pangestu, feminis. Esai, puisi, dan cerpennya dimuat
di pelbagai media cetak dan online. Novel perdananya Lautan Cinta Tak Bertepi
(2018).
No HP: 085773859628
Alamat: Jl. Peninggaran no 57 Kebayoran Lama, Jakarta
Selatan

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Alexong Alif Febriyantoro Cerpen

Cerpen: Apakah Rumah Perlu Dikosongkan?

Apacapa Yudik Wergiyanto

Produktivitas dan Dua Kawan

Uncategorized

Hari Raya Kurban dan Penghutbah yang Setia

Apresiasi Musikalisasi Puisi

Musikalisasi Puisi – Apa Kabar?

fulitik

Mas Rio Bantu Biaya Pengobatan Warga Situbondo di Bali

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Mengembangkan Didik Anak di Era Milenial

Apacapa Madura Syaif Zhibond

Randhâ Ngalesser

El Fharizy Puisi

Puisi: Santet

Ahmad Zaidi Apacapa Kakanan

Kuliner Malam Situbondo : Nasi Jagung

Apacapa Raisa Izzhaty

Membentuk Ruang Penyadaran Melalui Lingkar Belajar Feminisme Situbondo

Prosa Mini Yudhianto Mazdean

Belajar dari Semesta; Kematian Bangsa Koloni

Cerpen Romi Afriadi

Cerpen: Penjara

Apacapa Kampung Langai Situbondo Wilda Zakiyah

Festival Kampung Langai 6: Pertemuan dengan Sosok yang Lain

Ahmad Maghroby Rahman Apacapa

Rekacipta Upacara Hodo: Belajar Dari Lenong

Anwarfi Jamaludin GmSas Puisi

Puisi-puisi Jamaludin GmSas

Buku Muhamad Bintang Ulas

Resensi Buku: Francisco Ferrer, Asal-Usul dan Cita-cita Sekolah Modern

Nur Akidahtul Jhannah Penerbit

Buku Warna Keraguan

Tips/Trik

Sabun Mandi Bisa Membuat Kulit Kering, Fakta atau Mitos?

Febrie G. Setiaputra Resensi

Resensi: Sunyi di Dada Sumirah

Nuriman N. Bayan Puisi

Sekelopak Mata dan Puisi Lainnya Karya Nuriman N. Bayan