Cinta Tak Pernah Tepat Waktu; Menemani Kesepian

Oleh : Achmad Zaidi
Sewaktu-waktu
kenangan akan menyapamu, engkau tak bisa lari, tidak ada tempat maupun ruang
kecil yang bersedia untuk kau tinggali, untuk berbagi, untukmu bersembunyi. Kau
hanya bisa menghadapinya, menanggung sakitnya, sesak dan agak nyeri memang.
Tentu saja kau tidak bisa melupakan seluruh kenangan itu, sebagian akan tetap
tinggal. Tergantung bagaimana caramu menyikapinya, terjebak di dasar kubangan
berlumpur itu, atau menganggapnya sebagai suatu badai yang sudah semestinya
berlalu. Dan segera, kau harus melanjutkan hidup. Terus berjalan. Itu yang
kira-kira disampaikan kepada saya oleh tokoh Aku dalam buku ini, ketika sampai pada halaman terakhir.
Tokoh aku yang didera
kepahitan. Ketika ia mengalami perihnya ditinggalkan. Ia pernah mencintai
seorang perempuan, sangat mencintainya, hingga kemudian perempuan itu
memutuskan pergi. Meninggalkan tokoh aku terkapar sendirian. Sendirian
menanggung sakit. Sendirian berjibaku dengan kenangan. Sendirian belajar
bangkit dari nyeri. Sendirian, tokoh aku belajar untuk tegar menghadapi
kegagalan dan kerasnya hidup.
Saya mengira kisahnya
akan berakhir demikian. Itu baru harapan saya sewaktu pertama menyelesaikan
bagian prolog. Namun, sesuatu yang tak terduga menyentak dugaan saya. Sesuatu
yang saya temukan pada bagian-bagian selanjutnya.
Pada bagian pertama,
Puthut sengaja menyiksa tokoh aku dengan cara mempertemukannya dengan mantan
kekasihnya itu di sebuah acara ulang tahun salah seorang teman keduanya.
Kasihan sekali. Baru bertemu, tokoh aku malah mengetahui bahwa perempuan itu
telah menikah. Tapi bukan di sini siksaan yang sebenarnya. Nanti dulu. Setelah
pertemuan itu, tokoh aku dan mantan kekasihnya itu berpisah dengan cara
baik-baik. Tanpa meminta alamat. Tanpa bertukar nomor telepon. Tanpa hal-hal
yang sensitif untuk menyeret pembaca pada kubangan perasaan haru. Akan tetapi,
hal itu yang membuat saya sedikit tergenangi kesedihan. Membuat saya berpikir
betapa sedihnya menjadi tokoh aku.
Lalu, pada bagian
selanjutnya, tokoh aku menjalani kehidupan normal. Sibuk dengan urusan
pekerjaan. Meluangkan waktu bersama teman-teman. Bertemu perempuan baru.
Berusaha menjalin hubungan. Gagal. Bertemu perempuan lain. Menjalin hubungan
lagi. Gagal lagi. Bertemu. Hubungan. Gagal. Terus begitu hingga beberapa kali.
Bahagia sebentar. Bersedih sebentar. Normal dan wajar.
Namun, setelah sampai
di bab sembilan. Badai itu datang… Badai kenangan itu. Tanpa aba-aba
menyerang tokoh aku yang belum sedikitpun menyiapkan tameng pertahanan.
Tiba-tiba, mantan kekasihnya,
perempuan yang ia cintai setengah mati, perempuan yang menemani di saat
tersulit dalam hidupnya, datang. Perempuan itu menghubunginya melalui telepon
hanya untuk mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. Bahwa ia masih mencintai
tokoh aku. Ungkapan yang terlambat. Ungkapan cinta yang disertai permintaan
maaf. Ini inti cerita dan maksud dari judulnya: Cinta Tak Pernah Tepat Waktu.
Cinta yang terlambat
diungkapkan dan hanya menjadi kesia-siaan belaka. Kesia-siaan yang sempurna.
Menyayat. Membuat tokoh aku limbung. Bingung. Dan memutuskan pergi ke suatu
tempat.
Di mana itu? Silakan
baca dan temukan kejutan di akhir cerita.
Tema besar dalam buku
ini adalah kenangan. Suasana yang teramat kental digambarkan oleh Puthut adalah
semisal gerimis yang dingin. Tapi jangan khawatir buku ini akan
menenggelamkanmu pada kesedihan, sebab Puthut memberi sedikit humor dengan cara
halus sekali. Mengingatkan saya pada apa yang sering dikutip oleh dedek gemes:
jangan lupa bahagia.
Bagaimanapun, buku
ini cocok untuk menemani masa kesepianmu. Atau bagi kalian yang telah mempunyai
pasangan, buku ini akan sangat membantu untuk menghargai kehadirannya.
[]

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Puisi Saifir Rohman

Puisi : Tikungan Berdebu Karya Ayif Saifir R.

Cerpen Gusti Trisno

Cerpen – Runtuhnya Pertahanan Kunti dan Perang Pandawa Lima

Apacapa Mored Vania Callista Artanti

Curhat: Pak Menteri, Kami Jenuh!

Puisi Rion Albukhari

Puisi: Sonet Api

Puisi Uwan Urwan

Sajak Orang Gila

Buku Sutrisno Ulas

Kekerasan Budaya Pasca 1965

Esai N. Fata

Harlah ke-60: Mimpi-mimpi Semu Kader PMII

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Pemimpin Redaksi takanta.id dan Kebahagiaannya Akhir-Akhir Ini

Buku Moh. Imron Ulas

Guru Ngaji Langgar; Warisan Nusantara

Apacapa Imam Sofyan

Pak Kepala Desa, Belajarlah dari Film Dunia Terbalik!

Buku Dewi Faizatul Isma Resensi Ulas

Resensi: Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam Secara Islami

Mored Nurmumtaz Sekar Ramadhan

Cerpen Mored: Secangkir Kopi

M Lubis Cadiawan Mored Moret

Cinta Tak Pernah Ada Batas

Madura Syaif Zhibond

Tèngkana Orèng Aparloa

Faris Al Faisal Puisi

Tanah Garam dan Puisi Lainnya Karya Faris Al Faisal

Buku Indra Nasution Ulas

Kontroversi Kematian Adolf Hitler

Fadhil Sekennies Puisi

Puisi: Restu Rindu Ayah-Ibu Karya Fadhil Sekennies

Puisi Zen Kr

Puisi : Moksa dan Puisi Lainnya Karya Zen Kr

Aris Setiyanto Puisi

Puisi: Pendaki

Apacapa Rahman Kamal

Cerpen: Kunang-kunang di Atas Perahu